Jalan menuju desa itu berupa tanah yang dikeraskan. Kepulan debu berwarna merah menebar di udara ketika kendaraan kami melewati perkebunan hutan eucalyptus, di Kampung Sigoring-goring, di kawasan Padang Lawas, Tapanuli, Sumatera Utara. Hampir dua jam perjalanan dari airport kecil Aek Godang, sebelum akhirnya saya berjumpa dengan Raja Dima Siregar.
Sosoknya sangat sederhana. Bahkan terlalu sederhana sehingga terkesan naif. Saya hampir tidak percaya dari sosok inilah lahir kepedulian yang luar biasa. Padahal sehari-hari Raja Dima hanya seorang petani lugu di sebuah kampung kecil di tengah hutan. Kalau saja waktu itu Kick Andy tidak mengangkat kisah Raja Dima, saya tidak akan percaya di tengah hutan ini ada sebuah perkampungan miskin, tempat seorang petani hebat bermukim.
Raja Dima memang hanya petani. Sewaktu melihat anak-anak di kampungnya telantar karena tidak ada sekolah, hatinya tergerak. Berbekal tekad dan dorongan yang luar biasa, lelaki berusia sekitar 40 tahun itu lalu membangun sebuah Sekolah Dasar di sana. Secara fisik, bangunan sekolah yang saya kunjungi sungguh menyesakkan dada. Sekolah itu hanya berdindingkan papan, yang sebagian sudah berlubang-lubang. Atapnya dari seng. Ada dua ruang kelas yang disekat papan berlubang.
Bangunan sekolah sangat sederhana itu didirikan Raja Dima di atas sepetak tanah kosong. Pada mulanya, ketika bangunan sekolah sudah berdiri, muncul persoalan. Siapa yang akan mengajar? Tak seorang pun guru yang akan tertarik dengan kondisi sekolah seperti itu. Belum lagi lokasinya yang terpencil. Tapi dengan modal keprihatinan dan tekad yang kuat, Raja Dima memberanikan diri mengajar sendiri anak-anak Kampung Sigoring-goring. Dia lalu mengajar sebisanya.
Saya sungguh terharu. Ketika tiba di sana, sambutan yang diberikan sungguh tak terduga. Perangkat desa, para wanita, ibu-ibu, kakek-nenek, dan seluruh anak sekolah berseragam pramuka menyambut berderet di depan sekolah. Sebagian dari anak-anak itu bertelanjang kaki. Tetabuan musik tor-tor dengan suara suling yang melengking menjadi latar belakang tari-tarian yang dimainkan sejumlah lelaki dan perempuan tua. Kalungan bunga serta ulos yang dilingkarkan ke pundak menandai ucapan selamat datang.
Sebenarnya, sewaktu mendengar kabar warga Desa Sigoring-goring akan mengadakan “upacara” penyambutan, saya keberatan. Saya hanya ingin ke sana untuk memberi bantuan sekaligus melihat sendiri sekolah yang dibangun Raja Dima yang selama ini hanya saya lihat melalui rekaman video di Kick Andy. Tetapi saya akhirnya mengalah ketika dijelaskan “upacara” tersebut merupakan penghormatan dan penghargaan. Katanya “upacara” tersebut merupakan kebanggaan bagi masyarakat desa. Apa boleh buat.
Raja Dima hanya sebuah simbol. Simbol perlawanan terhadap “nasib”. Simbol perlawanan terhadap keterbatasan. Ketika banyak orang menyerah pada keadaan dan kondisi yang serba terbatas, Raja Dima bangkit melawan. Dengan segala keterbatasan yang ada di desanya, Raja Dima membangun sebuah harapan. Harapan akan pendidikan bagi generasi penerus di desa itu.
Saya dan tim Kick Andy Foundation ke Desa Sigoring-goring membawa sumbangan buku dan dana bagi pembangunan perpustakaan. Ketika diminta memberi sambutan, saya tiba-tiba merasa kecil. Apa yang saya perbuat bersama teman-teman di Kick Andy Foundation, serasa tidak ada artinya dibandingkan semangat dan dedikasi yang diperlihatkan Raja Dima.
Apa lagi pada kunjungan itu saya dibuat terkesima karena menemukan Raja Dima, Raja Dima lain yang juga mengabdikan hidup mereka untuk mengentaskan warga desa dari kebodohan. Saya berkenalan dengan Pak guru Ridwan Dalimunte dan istrinya Nurlela Siregar yang juga merintis sekolah ala “laskar pelangi” di Dusun Aek Pastak Kec. Barumun Tengah yang bertetangga dengan Desa Sigoring-goring.
Dalimunte dan Nurlela, seperti halnya Raja Dima, mulai merintis sekolah “swakarsa” dengan jumlah murid pada awalnya cuma sepuluh. Sekarang sudah 60 murid belajar di sekolah yang dibangun Dalimunte itu. Sementara anak-anak yang belajar di sekolah Raja Dima kini mencapai 53 murid.
Saya bersyukur bisa sampai ke sebuah Desa nun jauh di pelosok Tapanuli dan bertemu dengan orang-orang hebat seperti Raja Dima dan Dalimunte serta istrinya. Di mata saya merekalah pahlawan-pahlawan sejati. Mereka tidak menunggu uluran tangan pemerintah untuk bergerak. Raja Dima dan Dalimunte berkarya tanpa menepuk dada. Mereka bekerja jauh dari hiruk pikuk slogan-slogan, seperti yang kerap digembar-gemborkan politisi peserta pilkada atau calon anggota legislatif. Raja Dima dan Dalimunte berkarya dalam diam di kesunyian hutan.
Ada perasaan sedih ketika kendaraan yang saya tumpangi menjauh dari Desa Sigoring-goring. Saya harus kembali ke Jakarta. Tetapi hati saya tertambat di sana. Apalagi ketika menyalami satu demi satu murid-murid Raja Dima. Anak-anak kampung yang lugu. Anak-anak negeri yang juga berhak atas pendidikan dan sukses.
Nun di pedalaman Tapanuli ada Raja Dima dan Dalimunte. Orang-orang hebat yang berkarya dalam kesunyian. Jauh dari hiruk pikuk. Jauh dari penghargaan. Mereka berbuat tanpa pamrih. Di mata saya, merekalah pahlawan-pahlawan sejati.
source by K!ck Andy
Sosoknya sangat sederhana. Bahkan terlalu sederhana sehingga terkesan naif. Saya hampir tidak percaya dari sosok inilah lahir kepedulian yang luar biasa. Padahal sehari-hari Raja Dima hanya seorang petani lugu di sebuah kampung kecil di tengah hutan. Kalau saja waktu itu Kick Andy tidak mengangkat kisah Raja Dima, saya tidak akan percaya di tengah hutan ini ada sebuah perkampungan miskin, tempat seorang petani hebat bermukim.
Raja Dima memang hanya petani. Sewaktu melihat anak-anak di kampungnya telantar karena tidak ada sekolah, hatinya tergerak. Berbekal tekad dan dorongan yang luar biasa, lelaki berusia sekitar 40 tahun itu lalu membangun sebuah Sekolah Dasar di sana. Secara fisik, bangunan sekolah yang saya kunjungi sungguh menyesakkan dada. Sekolah itu hanya berdindingkan papan, yang sebagian sudah berlubang-lubang. Atapnya dari seng. Ada dua ruang kelas yang disekat papan berlubang.
Bangunan sekolah sangat sederhana itu didirikan Raja Dima di atas sepetak tanah kosong. Pada mulanya, ketika bangunan sekolah sudah berdiri, muncul persoalan. Siapa yang akan mengajar? Tak seorang pun guru yang akan tertarik dengan kondisi sekolah seperti itu. Belum lagi lokasinya yang terpencil. Tapi dengan modal keprihatinan dan tekad yang kuat, Raja Dima memberanikan diri mengajar sendiri anak-anak Kampung Sigoring-goring. Dia lalu mengajar sebisanya.
Saya sungguh terharu. Ketika tiba di sana, sambutan yang diberikan sungguh tak terduga. Perangkat desa, para wanita, ibu-ibu, kakek-nenek, dan seluruh anak sekolah berseragam pramuka menyambut berderet di depan sekolah. Sebagian dari anak-anak itu bertelanjang kaki. Tetabuan musik tor-tor dengan suara suling yang melengking menjadi latar belakang tari-tarian yang dimainkan sejumlah lelaki dan perempuan tua. Kalungan bunga serta ulos yang dilingkarkan ke pundak menandai ucapan selamat datang.
Sebenarnya, sewaktu mendengar kabar warga Desa Sigoring-goring akan mengadakan “upacara” penyambutan, saya keberatan. Saya hanya ingin ke sana untuk memberi bantuan sekaligus melihat sendiri sekolah yang dibangun Raja Dima yang selama ini hanya saya lihat melalui rekaman video di Kick Andy. Tetapi saya akhirnya mengalah ketika dijelaskan “upacara” tersebut merupakan penghormatan dan penghargaan. Katanya “upacara” tersebut merupakan kebanggaan bagi masyarakat desa. Apa boleh buat.
Raja Dima hanya sebuah simbol. Simbol perlawanan terhadap “nasib”. Simbol perlawanan terhadap keterbatasan. Ketika banyak orang menyerah pada keadaan dan kondisi yang serba terbatas, Raja Dima bangkit melawan. Dengan segala keterbatasan yang ada di desanya, Raja Dima membangun sebuah harapan. Harapan akan pendidikan bagi generasi penerus di desa itu.
Saya dan tim Kick Andy Foundation ke Desa Sigoring-goring membawa sumbangan buku dan dana bagi pembangunan perpustakaan. Ketika diminta memberi sambutan, saya tiba-tiba merasa kecil. Apa yang saya perbuat bersama teman-teman di Kick Andy Foundation, serasa tidak ada artinya dibandingkan semangat dan dedikasi yang diperlihatkan Raja Dima.
Apa lagi pada kunjungan itu saya dibuat terkesima karena menemukan Raja Dima, Raja Dima lain yang juga mengabdikan hidup mereka untuk mengentaskan warga desa dari kebodohan. Saya berkenalan dengan Pak guru Ridwan Dalimunte dan istrinya Nurlela Siregar yang juga merintis sekolah ala “laskar pelangi” di Dusun Aek Pastak Kec. Barumun Tengah yang bertetangga dengan Desa Sigoring-goring.
Dalimunte dan Nurlela, seperti halnya Raja Dima, mulai merintis sekolah “swakarsa” dengan jumlah murid pada awalnya cuma sepuluh. Sekarang sudah 60 murid belajar di sekolah yang dibangun Dalimunte itu. Sementara anak-anak yang belajar di sekolah Raja Dima kini mencapai 53 murid.
Saya bersyukur bisa sampai ke sebuah Desa nun jauh di pelosok Tapanuli dan bertemu dengan orang-orang hebat seperti Raja Dima dan Dalimunte serta istrinya. Di mata saya merekalah pahlawan-pahlawan sejati. Mereka tidak menunggu uluran tangan pemerintah untuk bergerak. Raja Dima dan Dalimunte berkarya tanpa menepuk dada. Mereka bekerja jauh dari hiruk pikuk slogan-slogan, seperti yang kerap digembar-gemborkan politisi peserta pilkada atau calon anggota legislatif. Raja Dima dan Dalimunte berkarya dalam diam di kesunyian hutan.
Ada perasaan sedih ketika kendaraan yang saya tumpangi menjauh dari Desa Sigoring-goring. Saya harus kembali ke Jakarta. Tetapi hati saya tertambat di sana. Apalagi ketika menyalami satu demi satu murid-murid Raja Dima. Anak-anak kampung yang lugu. Anak-anak negeri yang juga berhak atas pendidikan dan sukses.
Nun di pedalaman Tapanuli ada Raja Dima dan Dalimunte. Orang-orang hebat yang berkarya dalam kesunyian. Jauh dari hiruk pikuk. Jauh dari penghargaan. Mereka berbuat tanpa pamrih. Di mata saya, merekalah pahlawan-pahlawan sejati.
source by K!ck Andy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar